Seorang pemuda mendatangi peramal untuk bertanya tentang keadaan
asmaranya. Sang peramal heran, sampai hampir mati mendadak. Tak
henti-hentinya dia memutar-mutar gobletnya.
Matanya menerawang dan mengamati sekujur tubuh pemuda gagah yang berada di depannya. Muka kesedihan membayang di rautnya.
Dengan
suara parau, peramal tua itu akhirnya berujar: “Aku telah meramal
beribu-ribu orang. Tapi tak pernah aku menemukan nasib anak manusia
lebih seru dari nasibmu ini. Anakku, orang yang mati berkorban di jalan
cinta sama dengan orang yang mati syahid. Kau
takkan bisa lolos dari
takdirmu. Kau akan membanjiri tanah yang kau pijak dengan airmata dan
memenuhi langit yang menaungimu dengan gema tangis. Perjalananmu
berliku, penuh rintangan, terjal dan cadas. Kau akan terluka, tersiksa,
terkucil, terbelit derita, tertusuk belati asmara yang sangat tajam.
Kau bakal terdampar sendiri di pojok yang kelam, mengeram dalam damba.
Kau akan menjadi buah bibir, dan kelak kau akan menjadi legenda.
Kisahmu bakal menyenangkan orang yang mendengar, tapi kau sendiri bakal
mengalami seribu satu prahara.” kata peramal wanita itu sambil terisak
pilu.
Pemuda
lugu itu terdiam. Matanya menatap ke kanan dan kiri dengan cepat.
Meraba-raba masa depannya. Dia bingung, haruskah dia percaya atau ragu?
Haruskah dia menerima ramalan ini sebagai takdirnya atau malah
melupakan semuanya?
Di saat kebingungan menjalari
urat-urat sarafnya, si peramal perempuan melanjutkan, “Oooh, anakku,
pujaan hatimu…membara dalam cinta. Sepasang matanya berbinar membuat
matahari beringsut malu. Rembulan cemburu mengurung diri di
peraduannya. Bintang gemintang kembali terang berbias tatapan
matanya—setiap kali pujaan hatimu menyempatkan melihat angkasa. Para
bidadari berebut berkah kecantikannya.”
Pemuda itu
kini gagap. Matanya menerawang, tapi jiwanya terus mendamba.
Bayangannya tentang manisnya cinta membuatnya mantap dan percaya diri.
Dengan lantang dia berujar: “Aku siap! Aku siap! Aku takkan gentar
menghadapi semua ujian ini…asal aku bisa menjadi piala penutur cinta.
Biar semua orang sadar bahwa derita dalam cinta adalah semanis-manis
derita. Itulah derita pahlawan, syahid dan manusia-manusia sempurna!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar