Lempu’ (baca: “e” pada kembang )
Lempu’, jika dialihbahasakan dari bugis
ke Indonesia berarti jujur. Adapun arti logatnya adalah lurus, yang
merupakan lawan dari bengkok. Di dalam berbagai konteks, seringkali
diartikan ikhlas, benar, baik, atau adil, sehingga kata-kata seperti
culas, curang, dusta, khianat, seleweng, buruk, tipu, aniaya dan
lain-lain merupakan kata-kata lawannya.
Lempu’ sendiri menurut La Mellong atau yang lebih dikenal sebagai Kajao La Liddong,
seorang cendikiawan Bone, ketika ditanya oleh raja Bone ke-7
(1568-1584) La Tenrirawe Bongkanne, mengenai apakah saksinya atau
buktinya kejujuran? ‘’Seruan ya Arumpone!” Apa yang diserukan ya Kajao? Adapun yang diserukan ialah:
“Aja’ muala tanettaneng tania
tanenttanenmu, aja’ muala waramparang tania waramparanmu nataniato
mana’mu, aja’to muppassu’ tedong natania tedommu, enrenge annyarang
tania annyarammu, aja’to muala aju ripasanre’ nataniko pasanre i, aja’to
muala aju riwetta wali nataniko mpettawaliwi”
Jangan mengambil tanaman yang bukan
tanamanmu; jangan mengambil barang-barang yang bukan barang-barangmu,
bukan juga pusakamu; jangan mengeluarkan kerbau (dari kandangnya) yang
bukan kerbaumu, juga kuda yang bukan kudamu; jangan ambil kayu yang
disandarkan, bukan engkau yang menyandarkannya; jangan juga kayu yang
sudah ditetak ujung pangkalnya yang bukan engkau menetaknya.
Tanaman dan kerbau disini dapat
dimisalkan sebagai sumber makanan (pangan), adapun kuda dapat dimisalkan
sebagai alat buat menyelenggarakan penghidupan (sandang). Intisari dari
seruan ini menunjukkan bahwa kejujuran itu bermakna pula menghormati
hak-hak pemiliknya, biarpun yang empunya tidak mengawal atau tidak
sedang mengawasi miliknya.
Tambahan lagi, Tociang, cendikiawan Luwu, ketika diminta nasehatnya oleh calon raja (datu) Soppeng yang bernama La Manussa’ Toakkarangeng, menerangkan bahwa:
“Eppa’i gau’na Lempu’e: risalaie
naddampeng, riparennuangie temmaceko bettuanna risanresi teppabbeleang,
temmangoangenngi tania olona, tennaseng deceng rekko nassamarini
pudecengi ”
Ada empat perbuatan jujur: memaafkan
orang yang berbuat salah padanya; dipercaya lalu tak curang, artinya
disandari lalu tak berdusta; tak menyerakahi yang bukan haknya; dan
tidak memandang kebaikan kalau hanya buat dirinya, baginya baru
dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama.
Lempu’ ini sendiri benar-benar diimplementasikan pada pribadi Lamanussa’ Toakkarangeng.
Ketika hasil kesepakatan diajukan kepadanya untuk diangkat menjadi datu
Soppeng, dia berkali-kali menolaknya sambil menyarankan untuk mencari
orang lain saja. Ketika beliau akhirnya menerima pengajuan itu, beliau
meminta waktu untuk pergi berguru terlebih dahulu untuk mencari bekal
keilmuan bagi kepentingan pelaksanaan amanat rakyat. Selain itu, beliau
juga tidak merasa rendah untuk menyatakan kekurangannya dihadapan rakyat
yang sebelumnya telah meyakini kelebihan dan kemampuannya. Hal ini
pernah ditunjukkan pada suatu masa pemerintahannya. Ketika itu, Soppeng
dilanda kemarau sehingga sawah kering tak berair dan penghidupan pun
terancam. Menurut kepercayaan umum yang dianut, apabila terjadi bencana
seperti itu harus segera dicari hubungannya dengan nilai kejujuran yang
mungkin telah dirusak atau sekurang-kurangnya terganggu. Sebenarnya yang
terganggu adalah panngaderreng (adat istiadat) itu sendiri.
Setelah dilakukan investigasi di kalangan
pejabat pemerintahan dan tidak ditemukan bukti telah terjadinya hal
tersebut, beliau lantas introspeksi diri sendiri. Diingatnya bahwa dia
pernah memungut suatu barang di sawah lalu dia menyuruh orang
menyimpannya. Namun, sampai bencana itu terjadi, barang itu belum
diumumkan dihadapan dikhalayak umum. Beliau dengan keyakinan menyatakan
kepada khalayak ramai bahwa inilah atau dialah penyebab turunnya musibah
tersebut. Kemudian, beliau menyatakan bersalah sambil menjatuhkan
hukuman atas dirinya sendiri menurut adat yang berlaku saat itu.
Di cerita lain dikisahkan pula bahwa
seorang anak di Sidenreng harus menerima hukuman mati sebagai imbalan
atas pelanggaran nilai kejujuran. Hukuman mati itu sendiri dijatuhkan
oleh si ayahnya sendiri yang merupakan hakim dinegeri tersebut. Si ayah
ini bernama La Pagala Nenek Mallomo (1546-1654). Beliau ini sangat memegang prinsip alempureng nennia deceng-kapang
(kejujuran dan baik sangka). Saat itu dikisahkan bahwa dalam masa
jabatannya, terjadi kegagalan panen selama tiga tahun. Sesuai dengan
kepercayaan umum yang dianut, dicarilah sebab muasalnya terutama
dikalangan pembesar dan keluarganya. Akan tetapi tidak ditemukan suatu
pelanggaran adat, terutama nilai kejujuran, dan orang-orang pun mulai
putus asa.
Dalam suasana yang penuh kebingungan dan
kecemasan tersebut, putera dari si Hakim tersebut tiba-tiba datang
bersimpuh dihadapan ayahnya sambil membuka apa yang ditutup-tutupinya
selama ini. Tiga tahun yang lalu, pada waktu musim membajak, beberapa
mata sisir “salaga’nya” (alat yang dipakai untuk membajak)
patah. Lalu dia pun mengambil sebatang kayu kepunyaan tetangganya tanpa
memintanya untuk pengganti mata sisirnya yang patah itu. Lebih lanjut
sang anak mengatakan bahwa sampai sekarang dia belum meminta kerelaan
dari pemiliknya. Mendengar pengakuan sang anak tersebut sang ayah
berkata, “Engkaulah rupanya hai anakku yang telah melanggar pamali
sehingga Tuhan menurunkan peringatan yang menimpa rakyat dan bumi
Sidenreng. Demi kejujuran engkau harus menghadap Dewan Pemangku Adat.”
Adapun putusan yang dijatuhkan ialah hukuman bunuh atasnya. Ketika
rakyat mendengar putusan itu, mereka pun datang berbondong-bondong
menghadap Nene Mallomo sambil menyatakan: Sampai hati Tuan menilai nyawa
putera Tuanku dengan sebilah kayu.’ Dengan tegas beliau menjawab: “Ade’e temmkke-anak’ temmakke-epo,”
Yang berarti adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu. Dalam hal ini,
persoalannya bukanlah masalah kayu sepotong, tetapi yang harus dibayar
hukuman mati tersebut adalah tindakan mencurinya. Tindakan mencuri itu
sendiri merupakan pelanggaran atas nilai kejujuran yang jika tidak
disempurnakan atau tidak diselesaikan akan mematahkan nilai keadilan.
Hasil dari penegakan nilai keadilan dan pembelaan atas nilai kejujuran
oleh Nene’ Mallomo ini mendatangkan kesejahteraan bagi bumi dan rakyat
Sidenreng pada masa itu.
Jika cerita sebelumnya yang dibunuh
adalah anak seorang Hakim kerajaan yang melanggar nilai kejujuran,
adapula cerita lain dimana seorang raja yang akhirnya harus turun tahta
dengan mati terbunuh. Raja ini merupakan adik sekaligus pengganti dari
Raja Bone ke-7 yang disebutkan sebelumnya, dan bernama La Inca (1584-1595). Dibunuh oleh nenek La Inca
sendiri atas permintaan beberapa anak raja dan bangsawan yang lain,
karena prilakunya yang tidak bermoral, mendzalimi hak orang lain dan
tidak mau mendengar nasehat dan teguran.
Kisah-kisah di atas setidaknya
menceritakan bahwa nilai kejujuran atau Lempu’ ini benar-benar harus
ditegakkan tanpa pandang bulu dan tidak perlu takut. Karena jikalau
orang harus merasa segan atau taku maka perasaan itu hanya patut
diberikan kepada orang yang jujur. Hal ini sesuai salah satu pesan Karaeng Matowaya (1573-1637) ketika menasehati puteranya, Karaeng Pattinngallong (1600-1654).
“Ala apa lakupiturungiangko iamamo
anne kanaya limanrupaya, punna nualleanja antu poko’na gau’ mabajika,
limai rupanna. Se’remi rupanna, punna nia mugaukang ciniki apa’na gau
ka; makaruwana, teako malarroi nipainga’; makatalluna, mamallako
ritumalambusu’(takutilah orang jujur); makaappa’na teako mappilanngeri kareba ia pilanngeri kammatojenga; makalimana iapa nusisa’la makukuppako”
Apatah kiranya yang akan kubekalkan
kepadamu, hanya inilah perkataan yang lima macam, yang bila engkau
mengindahkan, yang lima macam ini pokok utamanya perbuatan baik.
Pertama, jika ada yang kamu kerjakan perhatikan akibat perbuatan; kedua,
jangan marah diberi ingat; ketiga, takutilah orang jujur; keempat,
jangan dengarkan suatu berita namun perhatikan kandungannya yang benar;
kelima, barulah engkau berpisah jika dadamu sudah merasakan sempit.
Adapula suatu peringatan dari Karaengta ri Ujungtana:
“antu tallua rupanna tanikanreai,
tani topeai punna gaukang namalompodudu panngodinna, kammayami
majekkonga, kammaya masiriatia, mairi’aika. Ka-antu jekkongan kammai
batu nibuanga naung rilikua; na-antu lambusuka kammai bulo ammawanga ri
je’neka, nuassakkangi poko’na ammumbai appa’na, muassakkangi appa’na
ammumbai poko’na”
Adakalanya orang jujur tersingkir dan
tersungkur dalam menderita kemiskinan dalam waktu yang lama. Namun
jangan jenuh dalam kemiskinan. Usahakan sekuat-kuat daya menegakkan
nilai kejujuran, sebab orang jujur meskipun tenggelam akan timbul juga
Terakhir, Raja cendekiawan Wajo di abad XV, Arung Saotanre La Tiringeng To-Taba menasehatkan:
“Ritoroi lempu’e riceko-e, iakia iamua mappatenntu lempu’emi ritu.”
Memang pada mulanya kejujuran itu diatasi oleh kecurangan namun akhirnya yang menentukan kejujuran juga.
Dikutip dari:
Rahim, A. Rahman. 1985. NILAI-NILAI UTAMA KEBUDAYAAN BUGIS. Ujung Pandang: Lembaga Penerbit Unhas(LEPHAS)
Keep posting mas bro, sering2 ki jg jalan2 ke blog ku die...
BalasHapusckckckckck..
BalasHapusba'a massbroo..