..:: Terima Kasih Atas Kunjungannya ::..

Senin, 20 Februari 2012

Lempu'

Lempu’ (baca: “e” pada kembang )
Lempu’,  jika dialihbahasakan dari bugis ke Indonesia berarti jujur. Adapun arti logatnya adalah lurus, yang merupakan lawan dari bengkok. Di dalam berbagai konteks, seringkali diartikan ikhlas, benar, baik, atau adil, sehingga kata-kata seperti culas, curang, dusta, khianat, seleweng, buruk, tipu, aniaya dan lain-lain merupakan kata-kata lawannya.
Lempu’ sendiri menurut La Mellong atau yang lebih dikenal sebagai Kajao La Liddong, seorang cendikiawan Bone, ketika ditanya oleh raja Bone ke-7 (1568-1584) La Tenrirawe Bongkanne, mengenai apakah saksinya atau buktinya kejujuran? ‘’Seruan ya Arumpone!” Apa yang diserukan ya Kajao? Adapun yang diserukan ialah:
“Aja’ muala tanettaneng tania tanenttanenmu, aja’ muala waramparang tania waramparanmu nataniato mana’mu, aja’to muppassu’ tedong natania tedommu, enrenge annyarang tania annyarammu, aja’to muala aju ripasanre’ nataniko pasanre i, aja’to muala aju riwetta wali nataniko mpettawaliwi”
Jangan mengambil tanaman yang bukan tanamanmu; jangan mengambil barang-barang yang bukan barang-barangmu, bukan juga pusakamu; jangan mengeluarkan kerbau (dari kandangnya) yang bukan kerbaumu, juga kuda yang bukan kudamu; jangan ambil kayu yang disandarkan, bukan engkau yang menyandarkannya; jangan juga kayu yang sudah ditetak ujung pangkalnya yang bukan engkau menetaknya.
Tanaman dan kerbau disini dapat dimisalkan sebagai sumber makanan (pangan), adapun kuda dapat dimisalkan sebagai alat buat menyelenggarakan penghidupan (sandang). Intisari dari seruan ini menunjukkan bahwa kejujuran itu bermakna pula menghormati hak-hak pemiliknya, biarpun yang empunya tidak mengawal atau tidak sedang mengawasi miliknya.
Tambahan lagi, Tociang, cendikiawan Luwu, ketika diminta nasehatnya oleh calon raja (datu) Soppeng yang bernama La Manussa’ Toakkarangeng, menerangkan bahwa:
“Eppa’i gau’na Lempu’e: risalaie naddampeng, riparennuangie temmaceko bettuanna risanresi teppabbeleang, temmangoangenngi tania olona, tennaseng deceng rekko nassamarini pudecengi ”
Ada empat perbuatan jujur:  memaafkan orang yang berbuat salah padanya; dipercaya lalu tak curang, artinya disandari lalu tak berdusta; tak menyerakahi yang bukan haknya; dan tidak memandang kebaikan kalau hanya buat dirinya, baginya baru dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama.
Lempu’ ini sendiri benar-benar diimplementasikan pada pribadi Lamanussa’ Toakkarangeng. Ketika hasil kesepakatan diajukan kepadanya untuk diangkat menjadi datu Soppeng, dia berkali-kali menolaknya sambil menyarankan untuk mencari orang lain saja. Ketika beliau akhirnya menerima pengajuan itu, beliau meminta waktu untuk pergi berguru terlebih dahulu untuk mencari bekal keilmuan bagi kepentingan pelaksanaan amanat rakyat. Selain itu, beliau juga tidak merasa rendah untuk menyatakan kekurangannya dihadapan rakyat yang sebelumnya telah meyakini kelebihan dan kemampuannya. Hal ini pernah ditunjukkan pada suatu masa pemerintahannya. Ketika itu, Soppeng dilanda kemarau sehingga sawah kering tak berair dan penghidupan pun terancam. Menurut kepercayaan umum yang dianut, apabila terjadi bencana seperti itu harus segera dicari hubungannya dengan nilai kejujuran yang mungkin telah dirusak atau sekurang-kurangnya terganggu. Sebenarnya yang terganggu adalah panngaderreng (adat istiadat) itu sendiri.
Setelah dilakukan investigasi di kalangan pejabat pemerintahan dan tidak ditemukan bukti telah terjadinya hal tersebut, beliau lantas introspeksi diri sendiri. Diingatnya bahwa dia pernah memungut suatu barang di sawah lalu dia menyuruh orang menyimpannya. Namun, sampai bencana itu terjadi, barang itu belum diumumkan dihadapan dikhalayak umum. Beliau dengan keyakinan menyatakan kepada khalayak ramai bahwa inilah atau dialah penyebab turunnya musibah tersebut. Kemudian, beliau menyatakan bersalah sambil menjatuhkan hukuman atas dirinya sendiri menurut adat yang berlaku saat itu.
Di cerita lain dikisahkan pula bahwa seorang anak di Sidenreng harus menerima hukuman mati sebagai imbalan atas pelanggaran nilai kejujuran. Hukuman mati itu sendiri dijatuhkan oleh si ayahnya sendiri yang merupakan hakim dinegeri tersebut. Si ayah ini bernama La Pagala Nenek Mallomo (1546-1654). Beliau ini sangat memegang prinsip alempureng nennia deceng-kapang (kejujuran dan baik sangka). Saat itu dikisahkan bahwa dalam masa jabatannya, terjadi kegagalan panen selama tiga tahun. Sesuai dengan kepercayaan umum yang dianut, dicarilah sebab muasalnya terutama dikalangan pembesar dan keluarganya. Akan tetapi tidak ditemukan suatu pelanggaran adat, terutama nilai kejujuran, dan orang-orang pun mulai putus asa.
Dalam suasana yang penuh kebingungan dan kecemasan tersebut, putera dari si Hakim tersebut tiba-tiba datang bersimpuh dihadapan ayahnya sambil membuka apa yang ditutup-tutupinya selama ini. Tiga tahun yang lalu, pada waktu musim membajak, beberapa mata sisir “salaga’nya” (alat yang dipakai untuk membajak) patah. Lalu dia pun mengambil sebatang kayu kepunyaan tetangganya tanpa memintanya untuk pengganti mata sisirnya yang patah itu. Lebih lanjut sang anak mengatakan bahwa sampai sekarang dia belum meminta kerelaan dari pemiliknya. Mendengar pengakuan sang anak tersebut sang ayah berkata, “Engkaulah rupanya hai anakku yang telah melanggar pamali sehingga Tuhan menurunkan peringatan yang menimpa rakyat dan bumi Sidenreng. Demi kejujuran engkau harus menghadap Dewan Pemangku Adat.” Adapun putusan yang dijatuhkan ialah hukuman bunuh atasnya. Ketika rakyat mendengar putusan itu, mereka pun datang berbondong-bondong menghadap Nene Mallomo sambil menyatakan: Sampai hati Tuan menilai nyawa putera Tuanku dengan sebilah kayu.’ Dengan tegas beliau menjawab: “Ade’e temmkke-anak’ temmakke-epo,” Yang berarti adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu. Dalam hal ini, persoalannya bukanlah masalah kayu sepotong, tetapi yang harus dibayar hukuman mati tersebut adalah tindakan mencurinya. Tindakan mencuri itu sendiri merupakan pelanggaran atas nilai kejujuran yang jika tidak disempurnakan atau tidak diselesaikan akan mematahkan nilai keadilan. Hasil dari penegakan nilai keadilan dan pembelaan atas nilai kejujuran oleh Nene’ Mallomo ini  mendatangkan kesejahteraan bagi bumi dan rakyat Sidenreng pada masa itu.
Jika cerita sebelumnya yang dibunuh adalah anak seorang Hakim kerajaan yang melanggar nilai kejujuran, adapula cerita lain dimana seorang raja yang akhirnya harus turun tahta dengan mati terbunuh. Raja ini merupakan adik sekaligus pengganti dari Raja Bone ke-7 yang disebutkan sebelumnya, dan bernama La Inca (1584-1595). Dibunuh oleh nenek La Inca sendiri atas permintaan beberapa anak raja dan bangsawan yang lain, karena prilakunya yang tidak bermoral, mendzalimi hak orang lain dan tidak mau mendengar nasehat dan teguran.
Kisah-kisah di atas setidaknya menceritakan bahwa nilai kejujuran atau Lempu’ ini benar-benar harus ditegakkan tanpa pandang bulu dan tidak perlu takut. Karena jikalau orang harus merasa segan atau taku maka perasaan itu hanya patut diberikan kepada orang yang jujur. Hal ini sesuai salah satu pesan Karaeng Matowaya (1573-1637) ketika menasehati puteranya, Karaeng Pattinngallong (1600-1654).
“Ala apa lakupiturungiangko iamamo anne kanaya limanrupaya, punna nualleanja antu poko’na gau’ mabajika, limai rupanna. Se’remi rupanna, punna nia mugaukang ciniki apa’na gau ka; makaruwana, teako malarroi nipainga’; makatalluna, mamallako ritumalambusu’(takutilah orang jujur); makaappa’na teako mappilanngeri kareba ia pilanngeri kammatojenga; makalimana iapa nusisa’la makukuppako”
Apatah kiranya yang akan kubekalkan kepadamu, hanya inilah perkataan yang lima macam, yang bila engkau mengindahkan, yang lima macam ini pokok utamanya perbuatan baik. Pertama, jika ada yang kamu kerjakan perhatikan akibat perbuatan; kedua, jangan marah diberi ingat; ketiga, takutilah orang jujur; keempat, jangan dengarkan suatu berita namun perhatikan kandungannya yang benar; kelima, barulah engkau berpisah jika dadamu sudah merasakan sempit.
Adapula suatu peringatan dari Karaengta ri Ujungtana:
antu tallua rupanna tanikanreai, tani topeai punna gaukang namalompodudu panngodinna, kammayami majekkonga, kammaya masiriatia, mairi’aika. Ka-antu jekkongan kammai batu nibuanga naung rilikua; na-antu lambusuka kammai bulo ammawanga ri je’neka, nuassakkangi poko’na ammumbai appa’na, muassakkangi appa’na ammumbai poko’na
Adakalanya orang jujur tersingkir dan tersungkur dalam menderita kemiskinan dalam waktu yang lama. Namun jangan jenuh dalam kemiskinan. Usahakan sekuat-kuat daya menegakkan nilai kejujuran, sebab orang jujur meskipun tenggelam akan timbul juga
Terakhir, Raja cendekiawan Wajo di abad XV, Arung Saotanre La Tiringeng To-Taba menasehatkan:
Ritoroi lempu’e riceko-e, iakia iamua mappatenntu lempu’emi ritu.
Memang pada mulanya kejujuran itu diatasi oleh kecurangan namun akhirnya yang menentukan kejujuran juga.
Dikutip dari:
Rahim, A. Rahman. 1985. NILAI-NILAI UTAMA KEBUDAYAAN BUGIS. Ujung Pandang: Lembaga Penerbit Unhas(LEPHAS)

2 komentar: